Problematika Pendidikan Moral di Indonesia
Pengertian Pendidikan Moral
Moral dapat diartikan dengan “menyangkut baik buruknya
manusia dengan manusia”; kemudian moralitas dapat diartikan dengan “keseluruhan
norma-norma, nilai-nilai dan sikap-sikap moral seseorang atau masyarakat”.[1]
Sebutan moral mengacu pada “baik-buruk” seseorang sebagai manusia, yang berarti
mengacu pada perilaku, bukan pada fisik.\sehingga
pendidikan moral secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk
menyiapkan seseorang/peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi luhur
yang mempertimbangkan nilai-nilai moral dan susila dalam segenap peranannya
sekarang dan masa yang akan datang.
Problematika Pendidikan Moral
Berbicara mengenai problematika pendidikan moral tentunya
tidak bisa jika hanya melihat dari satu sudut pandang saja karena rusaknya
moral masyarakat merupakan masalah yang komplek dan multidimensional yang
timbul akibat dari merosotnya nilai-nilai moral dan budi pekerti.
Oleh karena itu kita tidak bisa hanya melihat pelakunya
tapi juga harus melihat lingkungan seseorang itu sendiri.
1. Dalam Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama bagi seseorang. Keluarga yang secara tradisional merupaka
guru pertama dari setiap anak, mulai kehilangan fungsinya. Problematika pendidikan
moral yang dihadapi dalam keluarga lebih sering bersumber dari kebutuhan hidup
keluarga (ekonomi).
Pada umumnya orang tua yang sanggup membiayai pendidikan anaknya adalah
orang tua yang bekerja. Orang tua yang bekerja dengan waktu yang cukup panjang
meninggalkan anaknya di rumah. Pada saat pulang dari bekerja, para orang tua
sudah sangat lelah. Anak-anak pun sudah tertidur, akibatnya orang tua atau
keluarga semacam ini tidak pernah sempat menanamkan nilai-nilai positif,
khususnya nilai budi pekerti luhur.
2. Dalam Sekolah
Penanaman nilai-nilai budi pekerti di sekolah, untuk saat ini memang sudah
mengalami kemunduran. Data empiris menunjukkan bahwa para guru pun sudah merasa
enggan menegur anak didik yang berlaku tidak sopan disekolah.[2]
Perilaku keseharian anak didik, khususnya di sekolah, akan terkait erat
dengan lingkungan yang ada. Adalah sangat ironis atau bahkan mustahil terwujud
jika anak dituntut untuk berperilaku terpuji, sementara kehidupan di sekolah
terlalu banyak elemen yang tercela. Anak akan menertawakan ketika dituntut
berdisiplin jika para guru/karyawan menunjukkan perilaku tidak disiplin. Mereka
akan acuh ketika diperintah untuk menjaga kebersihan, sementara dalam
keseharian mereka melihat sampah menumpuk si sekolah. Dan masih banyak
kejanggalan-kejanggalan dan kesenjangan antara aturan dan norma dengan realitas
yang dialami anak didik.
Hal ini diperparah dengan posisi serta kedudukan pendidikan budi pekerti
yang tidak berdiri sendiri. Materi teersebut diintregasikan ke dalam dua mata
pelajaran, yaitu pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama, yang dengan
begitu dirasa sangat kurang mengingat tingkat moralitas dan budi pekerti yang
telah amat mahal dan langka di masa kini.
Lebih lanjut lagi menurut Azyumardi Azra ada
tujuh permasalahan problematika pendidikan moral di sekolah yang krusial untuk
segera ditangani,[3]
yaitu :
1) Arah pendidikan telah kehilangan
objektivitasnya
Sekolah dan lingkungannya tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih
diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan moral dan budi pekerti. Dengan kata lain
terdapat kecenderungan ketidak pedulian terhadap nilai dan moral yang
dipraktekan peserta didik; terdapat keengganan di lingkungan guru untuk menegur
peserta didik yang melakukan perbuatan amoral dan asusila. Khususnya di
perkotaan, banyak guru yang merasa kurang memilki wibawa yang memadai untuk
menegur anak didiknya, karena mungkin dari tingkat sosial-ekonomis lebih tinggi
daripada gurunya.
2) Proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik
di lingkungan sekolah.
Lembaga pendidikan kita umumnya cenderung lupa pada fungsinya sebagai
tempat sosialisasi dan pembudayaan peserta didik. Padahal sekolah selain
berfungsi pokok untuk mengisi kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta
didik, juga bertugas untuk mempersiapkan mereka meningkatkan kemampuan merespon
dan memecahkan masalah dirinya sendiri maupun orang lain, yang berarti
pendewasaan diri.
3) Proses pendidikan di sekolah sangat
membelenggu peserta didik, bahkan juga para guru.
Hal ini bukan hanya karena formalisme sekolah, bukan hanya dalam hal
administrasi, tetapi juga dalam PBM yang cenderung sangat ketat, juga karena
beban kurikulum yang sangat berat.
4) Beban kurikulum yang demikian berat, lebih
parah lagi hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif
belaka, dan itu pun disampaikan melalui delivery system. Sedangkan ranah
afeksi dan psikomotorik hampir tidak mendapat perhatian untuk pengembangan
sebaik-baiknya.
5) Meskipun ada materi yang dapat menumbuhkan
rasa afeksi seperti mata pelajaran agama, umumnya disampaikan dalam bentuk
verbalisme, yang juga disertai dengan rote-memorizing. Akibatnya mata
pelajaran agama cenderung sekadar untuk diketahui dan dihafalkan.
6) Pada saat yang sama para peserta didik
dihadapkan pada nilai-nilai yang sering bertentangan. Pada satu pihak mereka
belajar pendidikan agama untuk bertingkah laku yang baik, jujur, hemat, rajin,
disiplin, dan sebagainya, tetapi pada saat yang sama ternyata banyak orang di
lingkungan sekolah justru melakukan hal-hal di luar itu, termasuk di kalangan
sekolah sendiri.
7) Selain itu para peserta didik juga mengalami
kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik di lingkungannya.
3. Dalam Masyarakat
Penanaman nilai-nilai budi pekerti di masyarakat pun menjadi sangat kurang
sebagai akibat dari himpitan ekonomi. Semua sibuk memikirkan pemenuhan
kebutuhan hidup. Kontrol sesama masyarakat menjadi kurang, bahkan tidak ada,
semua serba individualistik. Mereka pada umunya bersikap cuek dan tidak ambil
pusing, serta tidak peduli dengan keadaan masyarakatnya.
Tantangan terhadap Pendidikan Moral
Dalam pembinaan terhadap kemerosotan pendidikan moral sungguhlah tidak
mudah, banyak tantangan yang akan dihadapi dan diselesaikan.
Diantara Tantangan yang akan dihadapi dalam rangka menanggulangi
kemerosotan moral dan budi pekerti anak, antara lain :
1) Arus globalisasi dengan teknologinya yang
berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri di mana informasi, baik positif
maupun negatif dapat langsung diakses dimanapun dan kapanpun.
2) Pola hidup dan perilaku yang telah bergeser
sedimikian serempaknya di tengah-tengah masyarakat juga merupakan tantangan
yang yang tidak dapat diabaikan.
3) Moral pejabat atau birokrat yang memang sudah
amat melekat seperti koruptor, curang/tidak jujur, tidak peduli pada kesusahan
orang lain, dan lain-lain, ikut menjadi tantangan tersendiri karena apabila
mengeluarkan kebijakan, diragukan ketulusan dan keseriusan dalam melaksanakan
secara benar.
4) Kurikulum sekolah mengenai dimasukkannya
materi moral dan budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran juga cukup sulit.
5) Kondisi ekonomi Indonesia juga menjadi
tantangan yang tidak dapat diabaikan begitu saja, karena bagaimanapun setiap
ada kebijakan pasti memerlukan dana yang tidak sedikit.
1) Pada tataran pemerintah, baru hanya sebatas
membuat peraturan, belum sampai pada upaya optimal dalam menanggulangi
kemorosotan moral dan budi pekerti.
2) Kondisi ekonomi di Indonesia yang terpuruk
menimbulkan krisis pada segala bidang termasuk bidang pendidikan.
3) Era globalisasi yang diringi oleh tingkat
kemajuan teknologi informatika yang bergerak maju dalam hitungan. Pada era ini
belahan dunia lai dapat diketahui oleh belahan dunia lainnya. Dunia menjadi
tanpa batas ruang dan waktu sehingga batas-batas moral menjadi demikian tipis.
4) Teladan para birokrat atau elite politik
terasa demikian kurang. Nilai-nilai moral yang diperlihatkan didepan mata
melalui berita televisi maupun media lainnya begitu riskan dan vulgar. Kondisi
ini menjadi titik lemah yang cukup fatal bagi usaha para pendidik, baik di
sekolah maupun di rumah untuk menanamkan nilai-nilai moral atau budi pekerti
yang agung.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan diatas, antara lain :
a) Peran aktif orang tua atau keluarga sangat
dituntut dalam upaya menanggulangi kemorosotan moral dan budi pekerti anak.
b) Dalam lingkungan sekolah. Walaupun sudah di
coba untuk dipadukan dalam setiap mata pelajaran, namun, belum efektif dan
maksimal mengingat tidak semua guru mampu mengaplikasikannya.
c) Peran masyarakat sangatlah penting untuk
mengatasi kemorosotan moral, yaitu melalui kontrol sosial dan semangat
kebersamaan guna kebaikan bersama.
d) Pemerintah belum maksimal menangani dan
menanggulangi kemorosotan moral dan budi pekerti anak. Hal ini diakibatkan oleh
kondisi dan ekonomi negara saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A Qodry, Pendidikan (Agama) untuk Membangun
Etika Sosial, Semarang; Aneka Ilmu, 2003.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Akhlak dan Budi
Pekerti: Membangun kembali Anak Bangsa. Makalah dalam Konvensi Nasional
Pendidikan Tahun 2000, Jakarta; Universitas Negeri, 2000.
Zuriah,
Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, Jakarta; Bumi
Aksara, 2008.
[1]A Qodry
Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang; Aneka
Ilmu, 2003). Hlm. 23
[2] Nurul Zuriah, Pendidikan
Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta; Bumi Aksara,
2008). Hlm.163
[3] Azyumardi Azra, Pendidikan
Akhlak dan Budi Pekerti: Membangun Kembali Anak Bangsa. Makalah dalam
Konvensi Nasional Pendidikan Tahun 2000, (Jakarta; Universitas Negeri,
2000)
Comments
Post a Comment